Suronews.com,Jakarta – Wakil Menteri Perdagangan Dyah Roro Esti Widya Putri meyakini, hidrogen merupakan peluang bagi Indonesia untuk menjadi yang terdepan. Tidak hanya dalam bidang energi, tetapi juga dalam membentuk arsitektur perdagangan baru yang lebih adil, lebih berkelanjutan, dan dibangun di atas rasa saling menghormati.
Hal ini disampaikan Wamendag Roro dalam Global Hydrogen Ecosystem System (GHES) Summit and Exhibition 2025 di Jakarta International Convention Center pada hari ini, Kamis (17/4). Tema
yang diusung pada hari ketiga ini adalah “Women and H2: Drive the Future”.
Turut hadir Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Arifah Fauzi; Deputi Bidang Pengembangan Standar Badan Standardisasi Nasional (BSN) Hendro Kusumo; Deputi II Indonesia Fuel Cell and Hydrogen Energy (IFHE) Deni Shidqi Khaerudini; serta Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Eniya Listiani Dewi.
“Indonesia dapat memanfaatkan hidrogen untuk menjadi yang terdepan dalam arsitektur perdagangan baru yang lebih adil, lebih berkelanjutan, dan dibangun di atas rasa saling menghormati. Indonesia juga harus menegaskan bahwa hidrogen hijau adalah produk masa depan. Tidak hanya dari sudut pandang ekonomi, tetapi juga geopolitik dan lingkungan. Kemitraan global baru harus dijalin dengan negara-negara yang memiliki visi jangka panjang untuk transisi energi, bukan hanya hubungan perdagangan berdasarkan volume,” tutur
Wamendag Roro.
Hidrogen, khususnya hidrogen hijau (green hydrogen), diproduksi melalui proses elektrolisis air menggunakan energi terbarukan, seperti tenaga surya atau angin. Gas hidrogen dianggap layak
menjadi kandidat bahan bakar kendaraan karena hanya menghasilkan emisi berupa air. Hal itu berbeda dengan pembakaran energi fosil yang mengeluarkan emisi gas beracun atau gas rumah kaca.
Di tengah gangguan global, gelombang proteksionisme baru, dan meningkatnya ketegangan perdagangan antarnegara, khususnya di tengah gejolak perdagangan akibat tarif resiprokal
Amerika Serikat (AS), hidrogen muncul sebagai simbol harapan. Hidrogen dapat menjadi sumber energi yang bersih dan fleksibel yang berpotensi memperkuat ketahanan energi nasional sekaligus
membuka peluang baru dalam perdagangan internasional. Lebih lanjut, Wamendag menjelaskan, Indonesia memandang AS sebagai mitra strategis dan berharap dapat terus membangun dialog yang terbuka dan konstruktif.
Namun, Indonesia juga harus siap menghadapi segala kemungkinan. Dalam hal energi, diplomasi Indonesia harus
berevolusi; dari diplomasi berbasis komoditas menjadi diplomasi yang berpusat pada teknologi dan keberlanjutan.
Wamendag Roro menambahkan ada beberapa langkah penting yang harus segera Indonesia lakukan untuk memimpin di sektor ini. Pertama, mempercepat regulasi dan insentif untuk produksi dan distribusi hidrogen, termasuk untuk tujuan ekspor. Kedua, memperkuat kolaborasi teknologi dengan negara-negara maju dan mitra strategis baru. Ketiga, diversifikasi sumber komponen utama untuk menghindari ketergantungan pada satu negara. Keempat, pengembangkan infrastruktur logistik dan distribusi, termasuk pelabuhan ekspor hidrogen khusus
“Kita juga harus menjaga keseimbangan. Industri dalam negeri harus diperkuat dan impor dikelola dengan hati-hati. Hal ini agar tidak mengganggu neraca perdagangan kita atau memberi tekanan
pada sektor strategis, seperti properti dan konstruksi, yang juga dipengaruhi tarif bahan bangunan,” imbuh Wamendag Roro.
Saat ini, hidrogen, termasuk hidrogen hijau, tidak termasuk di antara komoditas Indonesia yang terkena tarif tambahan yang diberlakukan oleh pemerintahan Presiden AS Donald Trump. Namun, dampak tidak langsung tetap mungkin terjadi karena banyak komponen penting dalam produksi,
distribusi, dan infrastruktur hidrogen, seperti perangkat elektronik, logam khusus, dan bahan bangunan-terkait dengan perdagangan internasional, termasuk dengan AS. Selain itu, kebijakan tersebut juga mempengaruhi iklim investasi dan kerja sama teknologi lintas negara sebagai dua elemen penting untuk mengembangkan ekosistem hidrogen nasional.
Bahkan di tengah dinamika global yang tidak menentu, laporan dari CleanTechnica dan sumber lainnya menunjukkan, proyek hidrogen hijau terus mengalami kemajuan secara global, bahkan ketika ketegangan perdagangan meningkat. Hal ini menandakan bahwa sektor hidrogen relatif terlindungi dari dampak tarif langsung dan semakin dipandang sebagai solusi jangka panjang yang
tidak dapat dinegosiasikan dalam upaya dekarbonisasi dunia.
Dalam konteks ini, diversifikasi pasar dan penguatan posisi Indonesia dalam rantai pasokan global menjadi semakin penting. Negara-negara anggota Regional Comprehensive Economic Partnership
(RCEP) seperti Jepang dan Korea Selatan, tengah mempercepat transisi energi mereka. Adapun Indonesia berpeluang untuk menjadi mitra utama dalam memasok energi bersih melalui hidrogen
hijau.
Indonesia memiliki sejumlah potensi strategis di sektor hidrogen, serta keunggulan unik yang tidak dimiliki oleh negara lain. Pertama, memiliki energi terbarukan yang melimpah, seperti hidro, panas bumi, matahari, dan biomassa. Kedua, kapasitas produksi industri yang telah menghasilkan lebih
dari 1,7 juta ton hidrogen abu-abu per tahun. Ketiga, lokasi geografis Indonesia yang strategis di sepanjang rute perdagangan Asia-Pasifik. Keempat, komitmen nasional untuk mencapai emisi nol bersih (net zero emission) pada 2060. Fondasi pun telah diletakkan. Sebagai contoh, Perusahaan Listrik Negara (PLN) telah memulai proyek Pembangkit Listrik Tenaga Hidrogen (PLTH) dan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Hidrogen (SPBH) di Kamojang. Ini bukan hanya sebuah simbol komitmen, tetapi juga merupakan awal dari
sebuah rantai pasokan baru, mulai dari produksi dan penyimpanan hingga pemanfaatannya di sektor transportasi dan industri.
GHES 2025 digelar 15–17 April di Jakarta International Convention Center (JICC) IFHE dan Kementerian ESDM. Acara ini menghadirkan konferensi, pameran, penjajakan kesepakatan bisnis (business matching), dan uji coba kendaraan hidrogen. Forum ini membahas berbagai isu strategis seperti kebijakan dan peta jalan (roadmap) hidrogen nasional, peluang investasi hidrogen bersih,
serta ambisi perusahaan global dalam membangun pasar hidrogen dunia.
Sekilas Perdagangan Hidrogen Pada 2024, Indonesia mencatatkan ekspor hidrogen (kode HS 2804) senilai USD 2,7 juta atau turun 9,6 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai USD 3,04 juta. Tiga negara
tujuan ekspor terbesar adalah Singapura, Taiwan, dan Filipina.
Meskipun menurun, tren ekspor hidrogen Indonesia selama lima tahun terakhir menunjukkan arah yang positif, dengan tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar 3,14 persen. Hal ini mengindikasikan adanya peluang jangka panjang untuk mengembangkan pasar ekspor hidrogen Indonesia.
Namun demikian, Indonesia masih sangat bergantung pada impor hidrogen, terutama dari Tiongkok, Jepang, dan Malaysia. Pada 2024, impor hidrogen mencapai USD 78,5 juta yang
mengakibatkan defisit perdagangan hidrogen sebesar USD 75,7 juta.
Ketergantungan ini menjadi
tantangan yang signifikan, tetapi juga menyoroti potensi besar untuk memperkuat produksi hidrogen dalam negeri, khususnya untuk memenuhi permintaan nasional.
Di sisi lain, neraca perdagangan minyak dan gas Indonesia juga terus menghadapi tekanan yang
cukup besar. Pada tahun yang sama, defisit perdagangan minyak dan gas mencapai USD 20,4 miliar, memperkuat urgensi untuk mencari alternatif energi yang lebih berkelanjutan dan mandiri.
Dalam hal ini, hidrogen menonjol sebagai solusi strategis yang layak mendapat prioritas utama.
Sebagai sumber energi bersih dengan aplikasi yang luas di industri, transportasi, dan listrik, pengembangan ekosistem hidrogen nasional dapat menjadi kunci untuk mengurangi
ketergantungan pada energi impor dan membuka peluang baru untuk ekspor komoditas energi di masa depan.